Kisah Pahit Pekerja Seks di Jepang Terjebak di Tengah Serbuan Wisata Seks Jepang Viral Turis Asing
Kilau Berita Kota-kota besar di Jepang seperti Tokyo, Osaka, dan Fukuoka kini menghadapi gelombang baru pariwisata pasca-pandemi. Kembalinya wisatawan asing dalam jumlah besar—terutama dari Korea Selatan dan negara-negara Eropa—memicu geliat ekonomi yang signifikan. Namun, di balik euforia tersebut, ada sisi gelap yang jarang disorot: jeritan hati para pekerja seks yang merasa hidup mereka kian terpinggirkan dan tereksploitasi oleh pasar turis yang tak terkendali.
Sakura (nama samaran), seorang pekerja seks berusia 32 tahun yang sudah lebih dari satu dekade bekerja di distrik hiburan Kabukicho, Tokyo, mengaku bahwa lonjakan turis membawa perubahan besar yang tak selalu positif. “Dulu kami lebih banyak melayani pelanggan lokal yang tahu batasan dan etika. Sekarang, banyak turis datang hanya untuk ‘berburu pengalaman’ tanpa menghargai kami sebagai manusia,” tuturnya.

SUMBER GAMBAR : KILAUBERITA
Sakura menyebutkan bahwa banyak dari mereka—terutama turis pria muda dari Korea dan Eropa Timur—memperlakukan pekerja seks seperti objek eksotis. “Beberapa langsung memaksa untuk layanan ekstrem, bahkan tanpa izin. Ada juga yang mengambil foto diam-diam lalu menyebarkannya secara online,” katanya lirih.
Fenomena ini diperparah oleh adanya konten di media sosial dan situs pariwisata yang membingkai distrik hiburan Jepang sebagai “taman bermain orang dewasa” tanpa konteks budaya atau etika lokal. Banyak pelancong menganggap seks komersial di Jepang sebagai hal yang bebas dan mudah diakses, padahal realitanya jauh lebih kompleks dan diatur ketat oleh hukum serta norma masyarakat.
Seorang aktivis dari organisasi hak pekerja seks di Tokyo, Yui Nakamura, menjelaskan bahwa pemerintah Jepang belum cukup tanggap terhadap masalah ini. “Pemerintah sangat fokus pada peningkatan jumlah turis, tapi lupa bahwa pekerja di industri hiburan juga butuh perlindungan. Banyak laporan pelecehan tidak ditindaklanjuti karena pelakunya warga asing yang langsung pulang ke negara asal,” jelasnya.
BACA JUGA BERITA LENGKAP HARIAN DI SINI : KILAU BERITA TRAVEL
Di sisi lain, tekanan ekonomi membuat banyak pekerja seks tak punya pilihan selain tetap melayani turis yang melewati batas. Kenaikan biaya hidup dan minimnya perlindungan sosial membuat mereka berada dalam posisi rentan. “Kami butuh sistem pendukung, bukan hanya regulasi yang memberatkan,” tegas Sakura.
Meskipun beberapa distrik mulai menerapkan pembatasan dan pelatihan etika untuk turis, masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Salah satunya adalah memperbaiki persepsi global tentang industri hiburan malam di Jepang agar lebih manusiawi dan menghormati para pekerjanya.
“Kami bukan atraksi wisata,” kata Sakura menutup wawancara. “Kami manusia, dengan hati dan batas sabar .”
Baca Juga : Gangguan Ormas Terhadap Proyek Pabrik BYD di Subang