Pro-Kontra Musik Kafe
Bisnis & Ekonomi

Pro-Kontra Musik Kafe: Antara Pengunjung dan Bayar Royalti

JAKARTA, KilauBeritaPro-Kontra Musik Kafe, Kebijakan kewajiban pembayaran royalti bagi kafe dan restoran yang memutar musik menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Sejumlah pengunjung kafe di kawasan Tebet Barat, Jakarta Selatan, menyampaikan pandangan berbeda terkait wacana pembatasan pemutaran lagu, khususnya karya musisi Indonesia.

Salah seorang pengunjung, Jeni (29), mengaku keberatan jika kafe dan restoran dilarang menyetel musik hanya karena masalah royalti. Menurutnya, musik di kafe menjadi penambah semangat, terutama saat ia bekerja dari kafe.

“Sebenarnya sih enggak setuju ya, karena kan lagu Indonesia juga banyak yang enak. Kalau disetel di kafe, apalagi kalau WFC (work from cafe), bisa bangkitin semangat juga sambil ikut nyanyi tipis-tipis,” ujar Jeni saat ditemui KilauBerita, Minggu (3/7/2025).

Jeni menilai pemutaran lagu di ruang publik justru membawa dampak positif bagi musisi lokal. Lagu yang sering diputar di kafe akan semakin dikenal, mudah dihafal, dan sekaligus menjadi media promosi gratis bagi para penyanyi.

“Kalau banyak diputar di kafe-kafe, lagu itu jadi makin dikenal. Itu kan ngebantu penyanyinya promosi tanpa sadar, dan seharusnya itu yang harus dipertimbangkan,” tambahnya.

Pendapat Berbeda dari Pengunjung Lain soal Pro-Kontra Musik Kafe

400,000+ Free Cafe Background & Cafe Images - Pixabay

Namun, tidak semua pengunjung memiliki pandangan serupa. Aulia (25), pengunjung kafe lainnya, justru setuju apabila pemutaran lagu Indonesia tidak dilakukan sembarangan. Ia merasa sudah terbiasa nongkrong di kafe dengan musik barat atau tema khusus yang dipilih pengelola.

“Sejujurnya setuju, kayaknya aku udah terbiasa sih kafe enggak setel lagu Indonesia. Sejauh aku nongkrong, hampir enggak ada kafe yang setel lagu Indo, pasti lagu barat atau theme song kafenya,” jelas Aulia.

Meski demikian, Aulia juga menegaskan bahwa kafe tanpa musik sama sekali akan terasa aneh. Ia tetap berharap musik—apa pun genrenya—tidak dihilangkan dari suasana kafe.

“Kalau sampai enggak setel musik sama sekali aneh banget. Kafe tanpa musik itu kayak ada yang kurang,” tuturnya.

Baca Juga : Pedagang Heran Anak Muda Cari Bendera Bajak Laut One Piece

Aturan DJKI: Musik di Ruang Publik Wajib Bayar Royalti

Diberitakan sebelumnya, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM menegaskan bahwa setiap pelaku usaha yang memutar musik di ruang publik, termasuk restoran, kafe, toko, pusat kebugaran, hingga hotel, wajib membayar royalti kepada pencipta dan pemilik hak terkait.

Direktur Hak Cipta dan Desain Industri DJKI, Agung Damarsasongko, menjelaskan bahwa aturan tersebut berlaku meskipun pemilik usaha telah berlangganan layanan streaming pribadi seperti Spotify, YouTube Premium, atau Apple Music.

“Layanan streaming bersifat personal. Ketika musik diperdengarkan kepada publik di ruang usaha, itu sudah masuk kategori penggunaan komersial, sehingga dibutuhkan lisensi tambahan melalui mekanisme yang sah,” tegas Agung dalam keterangan tertulis, Senin (28/7/2025).

Agung menambahkan, pembayaran royalti akan dihimpun dan didistribusikan melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Hal ini sesuai amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta serta Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 mengenai Pengelolaan Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.

Perdebatan yang Belum Usai soal Pro-Kontra Musik Kafe

Kebijakan ini kembali menimbulkan perdebatan di kalangan pelaku usaha maupun masyarakat. Sebagian mendukung karena dianggap melindungi hak cipta musisi, sementara sebagian lain menilai kebijakan tersebut dapat mengurangi kenyamanan pengunjung dan membebani pengusaha kecil.

Bagi pengunjung seperti Jeni, musik di kafe adalah nyawa suasana yang tidak boleh hilang. Sedangkan bagi Aulia, aturan pembayaran royalti justru bisa menjadi cara untuk lebih menghargai karya musisi, asal kafe tetap memutar musik agar tidak kehilangan daya tarik.

Perbedaan pendapat ini menunjukkan bahwa isu royalti musik bukan sekadar soal hukum dan bisnis, melainkan juga tentang budaya, gaya hidup, dan pengalaman sosial masyarakat urban di Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *