KilauBerita – Banjir Bandang Rusak Aceh 1.975 Hektar Kebun 46 Sekolah Rusak
Banjir Bandang Rusak Aceh kembali menerjang wilayah Kabupaten Nagan Raya, Aceh, dan meninggalkan kerusakan yang cukup luas. Curah hujan tinggi yang turun tanpa henti selama beberapa hari memicu luapan sungai di sejumlah kecamatan. Air yang datang tiba-tiba menyeret lumpur, material kayu, hingga merobohkan beberapa fasilitas penting yang selama ini menjadi pusat kegiatan masyarakat.
Data sementara dari pemerintah daerah menunjukkan bahwa 1.975 hektare lahan perkebunan warga terdampak berat. Sebagian besar merupakan kebun sawit dan karet, dua komoditas utama yang menopang ekonomi masyarakat setempat. Banyak kebun yang tertimbun lumpur, batang pohon tumbang, dan akses jalan menuju lahan terputus sehingga menyulitkan warga untuk melakukan penilaian kerusakan secara detail.
Para petani mengaku terpukul karena sebagian tanaman yang rusak adalah tanaman produktif yang sudah berusia puluhan tahun. Kehilangan lahan bukan hanya masalah ekonomi hari ini, tapi juga masa depan, karena butuh waktu panjang untuk memulihkan kembali kebun yang terdampak banjir bandang semacam ini. Beberapa warga bahkan menyebut kondisi tahun ini sebagai salah satu yang terparah dalam satu dekade terakhir.
Tak hanya lahan perkebunan, sebanyak 46 sekolah juga dilaporkan rusak. Mulai dari kerusakan ringan seperti dinding retak dan plafon ambruk, hingga kategori berat seperti ruang kelas penuh lumpur, pagar roboh, dan peralatan belajar hanyut. Proses pembelajaran otomatis terganggu. Guru dan orang tua sepakat bahwa keselamatan siswa menjadi prioritas, sehingga beberapa sekolah sementara memindahkan proses belajar ke gedung alternatif yang ada di desa-desa sekitar.
Dinas Pendidikan Nagan Raya menyampaikan bahwa proses pendataan masih berlangsung. Mereka sedang menghitung kebutuhan perbaikan, mulai dari penggantian perabotan, perbaikan struktur bangunan, hingga pemulihan fasilitas sanitasi. Pemerintah daerah juga membuka kemungkinan mengajukan bantuan tambahan kepada pemerintah provinsi maupun pusat.
Sementara itu, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) terus menangani warga yang terdampak. Beberapa titik masih tergenang, meski sebagian besar air sudah mulai surut. Relawan dan aparat gabungan diturunkan untuk membantu evakuasi, membersihkan puing, dan memastikan kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi. Distribusi logistik menjadi fokus utama, mengingat beberapa desa terisolasi selama berjam-jam saat banjir terjadi.
Pakar lingkungan dari universitas setempat menilai bahwa intensitas hujan ekstrem diperparah oleh menurunnya kapasitas resapan di wilayah hulu. Alih fungsi lahan, sedimentasi sungai, dan penyempitan alur air disebut turut mempercepat terjadinya banjir bandang. Rekomendasi pembenahan struktural dan non-struktural mulai disusun agar kejadian serupa tidak terus berulang setiap musim hujan.
Meski kondisi mulai stabil, warga di sejumlah kecamatan masih menghadapi fase pemulihan yang tidak mudah. Kerja sama antara pemerintah, relawan, dan masyarakat kini menjadi kunci untuk mempercepat proses perbaikan infrastruktur, sekolah, dan lahan produktif yang menjadi sumber penghidupan utama.
Banjir ini menjadi pengingat pahit bahwa bencana alam selalu membawa dampak berlapis — bukan hanya merusak fisik, tetapi juga memengaruhi pendidikan, ekonomi, dan psikologis masyarakat. Namun, semangat gotong royong yang masih kuat di Aceh menjadi modal besar bagi pemulihan yang lebih cepat.