KilauBerita, 22 Juli 2025 — Media sosial tengah diramaikan dengan tren visual bernama “S-Line”, sebuah fenomena viral yang muncul dari adaptasi drama Korea terbaru yang berasal dari Webtoon populer. Para pengguna ramai-ramai mengunggah foto atau video mereka dengan garis merah vertikal yang membentang dari atas kepala hingga tubuh, simbol yang diklaim mewakili jumlah pengalaman seksual seseorang.
Tren ini bermula dari drama Korea berjudul S-Line, yang mengisahkan seorang siswi SMA dengan kemampuan supranatural: ia bisa melihat garis merah yang menghubungkan dua orang yang pernah atau akan terlibat hubungan seksual. Dalam dunia fiktif itu, garis tersebut menjadi indikator hubungan intim yang tidak kasat mata.
Namun, di dunia nyata, interpretasi atas “garis merah” ini justru berubah menjadi simbolisasi eksplisit tentang kehidupan seksual seseorang. Banyak konten kreator menggunakan filter, efek, atau editan khusus untuk menampilkan garis tersebut, baik sebagai candaan, pengakuan terselubung, maupun sindiran sosial.
Fenomena Viral “S-Line” : Viral Tapi Kontroversial
Fenomena Viral “S-Line” , Popularitas tren ini dengan cepat menyebar ke berbagai platform, seperti TikTok, Instagram, hingga X (sebelumnya Twitter). Kata kunci #SLineChallenge dan #GarisMerah sempat menjadi trending, memperlihatkan seberapa besar antusiasme publik terhadap tren tersebut.
Meski banyak yang menyambutnya sebagai hiburan semata, tidak sedikit pula yang mengkritik fenomena ini sebagai bentuk candaan yang tidak sehat. Sejumlah warganet menyuarakan kekhawatiran atas tren yang dinilai mendorong normalisasi pergaulan bebas, apalagi jika dikonsumsi oleh remaja dan anak di bawah umur.
“Awalnya saya kira hanya efek estetik, tapi ternyata punya makna yang sangat vulgar. Ini bisa merusak cara pikir anak-anak muda,” tulis seorang pengguna di platform X.
Baca Juga : Elite Mulai Lirik KPR untuk Hunian Mewah: Tren Baru di BSD City
Pakar: Fenomena Viral “S-Line” Harus Ada Literasi Digital dan Batasan
Psikolog klinis dan pakar media sosial, Dr. Melyana Putri, mengungkapkan bahwa tren ini mencerminkan bagaimana budaya populer dapat memengaruhi persepsi remaja terhadap seksualitas.
“Simbol seperti S-Line bisa tampak lucu atau ringan, tapi ketika digunakan secara masif tanpa pemahaman yang tepat, itu bisa memicu krisis identitas, rasa rendah diri, hingga pelanggaran nilai moral dalam masyarakat,” jelasnya.
Ia menekankan pentingnya literasi digital dan pendampingan orang tua, terutama dalam menyaring konten-konten yang mengandung unsur seksual terselubung.
Seniman Drama Justru Tak Berniat Kontroversial
Soroti Fenomena S Line, DPR Minta Semua Pihak Proaktif Cegah Pengaruh Buruk Medsos
Menariknya, pihak produksi drama S-Line sendiri tidak mengantisipasi bahwa simbol garis merah tersebut akan ditafsirkan secara eksplisit di kehidupan nyata. Dalam wawancara media Korea, sutradara S-Line, Lee Hyun-woo, menyebutkan bahwa elemen garis merah awalnya hanya digunakan sebagai metafora tentang “keterikatan emosional yang tak terlihat”.
“Kami ingin menyampaikan bahwa setiap hubungan memiliki dampaknya masing-masing, baik secara emosional maupun psikologis,” ujarnya.
Namun, narasi tersebut berkembang berbeda ketika diadopsi oleh warganet global yang menekankan pada aspek seksualnya saja.
Baca Juga : Rokok Ilegal Dimusnahkan Dalam Dua Bulan, 182,74 Juta Batang
Netizen Terbelah: Kreatif atau Tidak Bermoral?
Reaksi masyarakat pun terbelah. Sebagian menganggapnya sebagai bentuk kreativitas dan kebebasan berekspresi, tetapi sebagian lainnya menyesalkan bahwa tren semacam ini semakin banyak muncul tanpa mempertimbangkan nilai-nilai etika dan norma sosial.
“Tren zaman sekarang makin gila. Semua hal yang berbau seksual malah jadi viral. Konten bermutu seperti tenggelam,” ujar seorang pengguna Facebook dalam kolom komentar berita online.
Kesimpulan: Batas Tipis antara Seni, Hiburan, dan Tanggung Jawab Sosial
Fenomena “S-Line” menyoroti batas tipis antara ekspresi artistik dan tanggung jawab moral dalam dunia digital. Ketika konten viral menyangkut isu sensitif seperti seksualitas, perlu ada kesadaran kolektif bahwa apa yang dianggap hiburan bagi sebagian orang, bisa menjadi pengaruh negatif bagi yang lain, terutama generasi muda yang tengah membentuk identitas diri.
Di tengah laju cepatnya arus informasi, publik diimbau untuk lebih bijak dalam menyerap, membagikan, dan menafsirkan tren digital. Karena tidak semua yang viral, layak untuk ditiru.