KILAUBERITA – Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan tujuh tersangka dalam kasus ( Minyak Oplosan ) dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina, Subholding, dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) pada 2018-2023. Bagaimana modus dugaan korupsi yang merugikan negara hingga Rp193,7 triliun itu?
Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar, menjelaskan para tersangka terdiri dari empat orang petinggi anak perusahaan PT Pertamina dan tiga lainnya dari pihak swasta.
“Perbuatan melawan hukum tersebut telah mengakibatkan adanya kerugian keuangan negara sekitar Rp193,7 triliun,” kata Abdul Qohar di Gedung Kejaksaan Agung Jakarta, Senin (24/02) malam.
Kerugian negara itu, kata Qohar, bersumber dari kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri, kerugian impor minyak mentah melalui broker, kerugian impor bahan bakar minyak (BBM) melalui broker dan kerugian dari pemberian kompensasi serta subsidi.
BACA JUGA : PRESIDEN PRABOWO RESMIKAN BANK EMAS INDONESIA
Bagaimana modus Minyak Oplosan ?
Modus para tersangka yaitu ‘mengondisikan’ produksi minyak bumi dalam negeri menjadi berkurang dan tidak memenuhi nilai ekonomis sehingga perlu impor dan melakukan mark up kontrak pengiriman minyak impor.
Selain itu, modus lainnya adalah ‘mengoplos’ impor minyak mentah RON 90 (setara Pertalite) dan kualitas di bawahnya menjadi RON 92 (Pertamax).
“Jadi dia [tersangka] mengimpor RON 90, 88, dan di bawah RON 92. Hasil impor ini dimasukkan dulu ke storage di Merak [Banten]. Nah, lalu di-blended [campur] lah di situ supaya kualitasnya itu jadi trademark-nya [merek dagang] RON 92,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Harli Siregar saat dihubungi BBC News Indonesia, Selasa (25/02).
Atas perbuatan itu, para tersangka disangkakan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Hingga berita ini diterbitkan, belum ada keterangan dari kuasa hukum para tersangka.
Sementara itu, PT Pertamina (Persero) menyatakan akan menghormati proses hukum yang tengah berjalan.
“Pertamina menghormati Kejaksaan Agung dalam menjalankan tugas serta kewenangannya dalam proses hukum yang tengah berjalan,” kata VP Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso dalam keterangannya, Selasa (25/02).
Pertamina: ‘Tidak ada Minyak Oplosan BBM jenis Pertamax’
Dihubungi secara terpisah, PT Pertamina Patra Niaga, sebagai Subholding Commercial & Trading PT Pertamina (Persero), menyatakan tidak ada pengoplosan bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax.
Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga, Heppy Wulansari memastikan kualitas Pertamax sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan pemerintah yakni RON 92.
“Produk yang masuk ke terminal BBM Pertamina merupakan produk jadi yang sesuai dengan RON masing-masing, Pertalite memiliki RON 90 dan Pertamax memiliki RON 92. Spesifikasi yang disalurkan ke masyarakat dari awal penerimaan produk di terminal Pertamina telah sesuai dengan ketentuan pemerintah,” ujarnya dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (26/02), seperti dilansir Kantor Berita Antara.
Heppy melanjutkan perlakuan yang dilakukan di terminal utama BBM adalah proses injeksi warna (dyes) sebagai pembeda produk agar mudah dikenali masyarakat.
Selain itu, juga ada injeksi aditif, yang berfungsi untuk meningkatkan performa produk Pertamax.
“Jadi, bukan pengoplosan atau mengubah RON. Masyarakat tidak perlu khawatir dengan kualitas Pertamax,” jelas Heppy.
Pertamina Patra Niaga juga melakukan prosedur dan pengawasan yang ketat dalam melaksanakan kegiatan quality control (QC).
Distribusi BBM Pertamina, lanjutnya, juga diawasi oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas).
“Kami menaati prosedur untuk memastikan kualitas dan dalam distribusinya juga diawasi oleh Badan Pengatur Hilir Migas,” sebut Heppy.
Heppy menambahkan Pertamina berkomitmen menjalankan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG) untuk penyediaan produk yang dibutuhkan konsumen.
( Potrer RS tersangka kasus Minyak Oplosan )
Siapa saja tersangka Minyak Oplosan?
Kejagung menetapkan tujuh orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi yang ditaksir merugikan negara hingga Rp193,7 triliun. Mereka adalah:
1. RS, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga;
2. SDS, Direktur Feed Stock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional;
3. YF, Direktur Utama PT Pertamina International Shipping;
4. AP, VP Feed Stock Management PT Kilang Pertamina International;
5. MKAR, Beneficially Owner PT Navigator Khatulistiwa;
6. DW, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT. Jenggala Maritim;
7. GRJ, Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur PT Orbit Terminal Merak.
Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar mengatakan, penetapan tersangka itu usai penyidik memeriksa 96 saksi dan dua orang saksi ahli.
Usai ditetapkan sebagai tersangka, kata Harli, seluruh tersangka langsung ditahan. “Penyidik juga pada jajaran Jampidsus berketetapan melakukan penahanan terhadap tujuh orang tersebut,” ujar Harli.
Apakah Minyak Oplosan RON 90 memengaruhi kualitas Pertamax yang dibeli masyarakat?
Kapuspenkum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, menjelaskan salah satu modus yang dilakukan tersangka RS yaitu melakukan pengoplosan bahan bakar minyak (BBM).
Harli mengatakan, RS diduga melakukan pembelian minyak bumi dengan kualitas RON 90 (setara Pertalite) dan di bawahnya yang kemudian diolah kembali di depo, lalu dijual dengan tipe RON 92 (Pertamax).
“Jadi dia [tersangka] mengimpor RON 90, 88, dan di bawah RON 92. Hasil impor ini dimasukkan dulu ke storage di Merak [Banten]. Nah, lalu di-blended [campur] lah di situ supaya kualitasnya itu jadi trademark-nya [merek dagang] RON 92,” kata Harli kepada BBC News Indonesia.
Apa yang dilakukan tersangka itu, kata Harli, melanggar kewenangan yang dimiliki karena pencampuran seharusnya dilakukan oleh Kilang Pertamina Internasional, bukan oleh Pertamina Patra Niaga.
Saat ditanya, apakah praktik oplosan itu memengaruhi kualitas Pertamax (RON 92) yang dibeli oleh masyarakat di periode 2018-2023?
“Nah, kita enggak tahu kualitasnya… tapi yang pasti bahasa awamnya itu kan macam oplosan, dicampur. Mungkin secara rumusan teknisnya, pasti ada lah [pengaruh],” kata Harli.
Harli pun menjelaskan praktik pengoplosan itu menjadi salah satu komponen dari kerugian negara yang mencapai hingga Rp193,7 triliun.
Harli menambahkan hingga kini Kejagung fokus ke penyidikan terhadap ketujuh orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
“Apakah misalnya nanti ada pihak-pihak lain yang dapat diminta pertanggungjawaban Itu sangat tergantung dengan fakta-fakta yang terungkap dari pemeriksaan tujuh tersangka itu atau ada fakta lain yang berkembang dan itu akan terus didalami,” kata Harli.
Dirdik Jampidsus Abdul Qohar menjelaskan, kasus dugaan korupsi ini bermula ketika pemerintah menetapkan pemenuhan minyak mentah wajib dari dalam negeri pada periode 2018-2023.
Atas dasar itu, Pertamina wajib mencari pasokan minyak bumi dari kontraktor dalam negeri, sebelum merencanakan impor.
Hal itu diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri ESDM No. 42 Tahun 20218 tentang Prioritas Pemanfaatan Minyak Bumi Untuk Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri.
Namun, kata Qohar, aturan itu diduga tidak dilakukan oleh RS (Dirut Pertamina Patra Niaga) dan SDS (Direktur Feed Stock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional) dan AP (VP Feed Stock Management PT Kilang Pertamina International.
Sebaliknya, mereka diduga bersengkongkol untuk membuat produksi minyak bumi dari dalam negeri tidak terserap sehingga pemenuhan minyak mentah dan produk kilang harus dilakukan dengan cara impor.
“Tersangka RS, SDS dan AP melakukan pengkondisian dalam rapat optimalisasi hilir yang dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap seluruhnya dan akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dengan cara impor,” kata Qohar.
Untuk memperkuat kongkalikong itu, tambah Qohar, produksi minyak mentah dalam negeri oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) juga diduga sengaja ditolak oleh para terduga pelaku.
Alibinya, sebut Qohar, produksi KKKS itu diklaim tidak memenuhi nilai ekonomis, “padahal harga yang ditawarkan oleh KKKS masih masuk range harga HPS [harga perkiraan sendiri].”
Bukan hanya itu, terduga pelaku juga berdalih bahwa produksi minyak mentah dari KKKS dinilai tidak sesuai spesifikasi.
“Pada saat produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS ditolak dengan dua alasan tersebut, maka menjadi dasar minyak mentah Indonesia dilakukan ekspor,” jelas Qohar.
BACA JUGA : CERITA DEWASA PENUH GAIRAH DI SINI
[…] Baca Juga : Minyak Oplosan , Dirut Pertamina Jadi Tersangka […]